Halaman

Selasa, 21 September 2010

My Choice

Islam telah mengajarkan kepada kita betapa pentingnya akhlak mulia. Akhlak mulia menjadi cermin diri dan sucinya jiwa, akankah kesempatan menjadi orang baik yang sudah terbuka lebar kita lepas begitu saja..?! Menjadi sosok yang peduli dengan sesama telah kita sia-siakan tanpa lirih melihatnya. Lari dari kebenaran bukanlah solusi konkrit dari masalah, apalagi lilu di keramaian, sikap acuh tak acuh terhadap lingkungan kita dipelihara sampai berkembang layaknya tanaman ubi tumbuh subur mekar dengan dedaunannya.

Bertambahnya usia dunia, secara tidak langsung telah memberikan peluang yang lebih terbuka untuk semua manusia dan semua kalangan dalam memahami tujuan hidup yang ideal dan tujuan yang sesuai dengan yang diharapkan. Para pemuda kerap dijadikan sebagai contoh dari kandas landas dari era globalisasi yang tak kenal perdamaian. Dan inilah bentuk rill dari kehidupan zaman sekarang. Terpesona dengan keindahan dunia yang sementara, tak sadarkan diri; tergiur dengan suasana lingkuangan yang kadang kala menusuk dari belakang.

Kenapa pemuda-pemudi kita di masa kini tak ubahnya seperti pesawat yang terbang dengan sayap sebelah? Terombang-ambing ditelan tiupan aingin yang menusuk ubun-ubun. Tanpa sadar telah menodai jati diri sebagai ciptaan yang paling mulia.

Kenapa pemuda-pemudi kita lebih meprioritaskan idola yang tidak ada jaminan ke legalannya dalam agama, dari pada menjadikan sosok panutan alam dan yang telah mendapat rekomendasi untuk pensyafaatan, sebagai idola sejati...?!

Kalaulah para cendekiawan, para pemikir dan para ilmuan yang telah memahami hakikat Islam – yang telah mengetahui hiruk-piuk dan tipu muslihat musuh agama – masih salah dalam memilih idola, bagaimana dengan orang-orang yang jauh dari sinaran ilmu dan naungan peradaban yang menjadi barometer kehidupan?! Dunia yang tiada berdaya telah gelap gulita, seakan manusia dimanjakan, hidup di dunia bagaikan tujuan akhir dari penciptaan dan kematian bukan menjadi hal yang perlu diperhitungkan.

Akankah kita sebagai orang yang faham agama, orang yang akan menyinari kegelapan ini, tinggal diam tanpa mengambil ancang-ancang sebagai langkah awal pengobatan atas penyakit yang telah merasuki jiwa umat ini..?

Bila kita menelaah kembali proses penciptaan alam ini, niscaya kita akan menemukan pelajaran yang sungguh sangat berarti. Karena sejarah adalah renungan masa lalu, panduan dan enlightment di masa kini. Orang yang mau manggali sejarah berarti telah berani membuka rahasia keberhasilan di masa kini dan masa mendatang. Peluang untuk menjadi orang yang lebih baik masih terbuka lebar. Dan memilih idola yang tepat adalah tuntutan Islam pada setiap idividu, bukan untuk para kiyai , para ustadz atau para aktifis saja. Akan tetapi untuk semua kalangan karena Islam untuk semua.

Islam telah memberikan gambaran kepada kita akan pentinganya mengenal Nabi Muhammad saw, memperdalam pengetahuan tentang kepribadiannya dan jauh lebih tahu tentang seluk beluk kelebihannya. Ketika dilihat dari sudut pandang Islam, beliau adalah idola semua umat, idola yang tidak pernah sirna, idola yang mekar setiap saat. Siapa pun yang menjadikannya sebagai idola, niscaya jaminan kebahagiaan di dunia dan akhirat telah manantinya. Karena mengikuti apa yang telah Rasul anjurkan berarti telah mengikuti apa yang telah Allah perintahkan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT. di dalam Al-Quran surah An-Nisa’ ayat 80:
“Barang siapa menaati Rasul (Muhammad) maka sesungguhnya dia menaati Allah…” (An-Nisa: 80).

Menurut Ibnu Katsir, ayat di atas adalah pernyataan kepantasan Nabi sebagai idola. Karena menjadikan Nabi sebagai tolak ukur ketaatan seseorang kepada Allah Swt. mengindikasikan bahwa apa pun yang muncul dari kepribadiannya adalah pantas dan sesuai untuk dicontoh. Beda halnya dengan idola yang kebanyakan kita ikuti sekarang ini, di samping tidak ada jamiman kebenarannya, bisa-bisa menjadikan kita sebagai orang yang telah menodai agama, yaitu dengan sikap acuh tak acuh kita kepada perintan dan larangan-Nya.

Oleh karena itu, kita dituntut supaya memahami lebih jauh lagi tentang kepribadian Nabi Muhammad SAW, mulai dari sifat-sifatnya, dan kelebihan-kelebihan yang telah Allah anugrahkan kepadanya. Sebagian kecil di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Rasulullah Muhammad Saw Bersifat Belas Kasih
Ketika Rasulullah saw hijrah ke negri Thaif, uluran tangan yang santun dan jiwa yang lapanglah yang beliau inginkan. Tapi, semuannya bertolak belakang dengan apa yang diharapkan, malah lemparan batu mengenai tubuh mulia tersebut, hingga darah bercucuran. Dengan jiwa yang telah dibekali iman, ketenangan pun datang dengan spontan, Rasulullah saw menghadapi semua ini tanpa gentar dan tidak mengeluh. Bahkan tawaran Jibril untuk meratakan perkampuntan ini dengan menghemparkan Bukit Uhud, tapi Rosul menolak dengan ungkapan optimisnya: “Mudah-mudahan Allah membukakan hati orang-orang sesudah mereka terhadap agama ini.” Sikap belas kasih ini telah beliau aplikasikan semasa hidupnya. Bukan di waktu genting dan sempit saja, akan tetapi sifat mulia ini selalu dijadikan sebagai salah satu bukti konkrit dari kenabian dengan tidak melihat situasi atau kondisi tertentu. Begitu juga sifat mulia ini beliau ajarkan kepada para sahabatnya, sebagai orang-orang yang telah setia mendampingi beliau membawa risalah ini hingga sampai kepada kita. Sebagaimana beliau menasehati para sahabat ketika hendak jihad membela agama Allah, agar tidak melukai perempuan, tidak menyakiti anak-anak, orang-orang yang sudah tua bangka dan sampai tumbuhan dan tanaman sekali pun, serta tidak memerangi orang yang tidak memerangi. Begitulah indahnya sifat belas kasih Rasul yang sudah seharusnya kita jadikan sebagai contoh dalam kehidupan sehari-hari.

2. Kedermawan Rasulullah Saw
Kesederhanaan adalah ciri khas dari kepribadian Nabi Muhammad saw. Sekali pun beliau adalah orang yang telah Allah jadikan sebagai makhluk pilihan dan mempunyai keistimewaan, terlebih sifat kesederhanaannya; tidak menghalangi untuk memperluas ladang amal melalui uluran tangan mulianya kepada orang yang membutuhkan.
Sebagaimana diceritakan dalam sebuah Hadist: “Ketika itu Abdullah ibn Abbas ditanya tentang Rasulullah saw. Ibn Abbas mengatakan Rasululllah saw adalah manusia paling dermawan, dan kedermawanan beliau akan semakin meningkat ketika di bulan Ramadhan” (HR. Bukhori).

3. Kelembutan Beliau Saw
Di dalam catatan sejarah mana pun, kita tidak akan menemukan bahwa Nabi Muhammad itu adalah sosok pemarah dan mudah melayangkan tangannya ke pipi anak, istri atau para sahabatnya. Tetapi yang kita temukan adalah kelembutan dan sikap toleransi yang sangat tinggi.
Sebagaimana diceritakan oleh Ibunda Aisyah bahwa tangan Rasul saw tidak pernah memukul istri atau pembantunya. Akan tetapi Rasul saw melakukan itu hanya di medan jihad, ketika memebela agama Allah (H.R. Bukhori).
Ini adalah sedikit dari sifat-sifat mulia Nabi Muhammad SAW, dan masih banyak bukti-bikti dari keistimewaan yang ada pada kepribadian beliau, yang ini dapat kita rujuk ke buku-buku sirah.

Beberapa Tokoh dan Ilmuan Barat Bicara Tentang Nabi Muhammad saw
Di antaranya:
1. Jauth (Sastrawan Jerman)
Jauth mengatakan: “Kami di Eropa, dengan semua teorti dan pemahaman kami yang kami miliki, belum pernah mendapatkan sebagaimana yang telah Muhammad dapatkan. Tidak akan ada seorang pun yang bisa seperti dia (Muhammad) apalagi menandinginya. Saya telah melakukan penelelitian tentang sosok tokoh yang seperti Muhammad tapi tidak saya temukan.”
2. George Sartown
Menurutnya, Nabi Muhammad tidak ada bedanya seperti para nabi terdahulu. Akan tetapi, di sisi lain, Nabi Muhammad mempunyai kelebihan yang tidak didapati dinabi-nabi sebelumnya.
Mari kita perhatikan, bagaimana orang yang di luar sana menilai kepribadian Nabi Muhammad saw. Mereka sebagai pemikir dan ilmuan Barat, tentunya tidak akan semena-mena mengeluarkan pendapat dan kekaguman kepada Nabi Muhammad saw. Kalau bukan karena kemuliaan yang nyata, lalu semua ini apa…?!

Oleh karena itu, mari mengevaluasi diri, perbanyak bekal menuju hari yang lebih berarti. Dan tetap meningkatkan semangat untuk mencapai ridho Ilahi. Karena kesempatan menjadi orang yang lebih baik masih terbuka hingga saat ini.

Sebagaimana disebutkan dalam satu ungkapan: “Orang yang hari sekarang lebih bernilai dari pada hari kemaren; maka orang tersebut diketegorikan sebagai orang yang beruntung. Orang yang hari sekarang tidak ada bedanya dengan hari kemaren, disebut sebagai orang yang merugi. Dan orang yang hari sekarang lebih buruk dari pada hari kemaren disebut sebagai orang yang celaka.
Maka dari situ, kita tidak ada pilihan selain mencari jalan yang lebih tepat dari yang kita lalui sekarang ini. Berani bertindak berarti telah membukan peluang untuk menuju kemenangan dan kehidupan yang lebih bernilai. 
 

Bangga Dengan Islam

Islam adalah agama yang mempunyai nilai lebih dibandingkan dengan agama-agama lain. Ditinjau dari segi manapun, Islam tetap yang terbaik. Hal ini terbukti dan diakui oleh kalangan non-muslim sekalipun; sebagaimana pernah saya kutip di artikel "My Choice" pada edisi September ini, Akan tetapi, bila kita melihat fenomena agama ini di saat ini, kejanggalanlah yang sering kita temukan; agama menjadi bahan tontonan, membuat pikiran dipenuhi dengan pertanyaan.

Bukankah Islam, agama yang harum di beberapa abad yang silam?! Bukankah Islam, agama yang mengangkat harkat dan martabat manusia?! Tapi fakta berbicara, Islam tidak seindah di masa Nabi Muhammad Saw., tidak juga seindah di masa Abu Bakar ra dan pejuang-pejuang Islam lainnya. Kenapa demikian? Kok bisa berbeda?! Bukankah kita juga menjadikan Al-Quran sebagai landasan hidup juga?

Di sini, saya mau mengajak para pembaca untuk bertamasya sebentar ke masa jayanya Islam. Masa yang membuat ummatnya benar-benar bangga terhadap agama ini.

Di masa-masa sebelumnya, Islam adalah penguasa peradaban. Para ilmuan Barat juga pernah belajar dari ulama-ulama muslim yang ketika itu berada di Cordova, Spanyol. Bentuk universitas-universitas tertua di Eropa yang rata-rata hampir sama dengan bentuk mesjid dan pakai kubah misalnya, merupakan bukti konkrit dari semua itu. Selain itu, buku “Al-Qonun fi Al-Fiqh” yang disusun oleh Imam Ghozali, merupakan buku rujukan di Jerman, begitu halnya dengan buku kedokeran yang disusun oleh Ibn Sina. Logaritma sebagai salah satu cabang ilmu dalam matematika; siapa penemunya kalau bukan orang Islam dari kalangan Khawarij?! Masih banyak contoh lain yang membuktikan kalau Islam pernah jaya, menjadi guru dan menguasai peradaban.

Jadi, kita umat Islam bukanlah umat primitive. Peradaban Islam dahulu sudah maju di saat Barat masih tertidur dalam kebodohan. Namun setelah belajar dari ulama-ulama Islam, timbullah semangat mereka yang membuahkan gerakan kebangkitan kembali yang dikenal dengan istilah renaisans.

Pada dasarnya, maju dan mundurnya agama ini, tidak terlepas dari mereka yang mengaku sebagai pemeluknya. Lebih jelasnya, Islam adalah sebuah nama ajaran dan kepercayaan yang diwujudkan kepada suatu aplikasi, berlandaskan wahyu Ilahi yang sifatnya aplikabel. Ketika ajaran agama ini diaktualisasikan oleh ummatnya dengan baik dan menyeluruh, maka akan terwujud kemajuan. Namun jika yang terjadi adalah penyalahgunaaan oleh ummatnya sendiri, kemunduranlah yang akan terjadi. Sekulerisasi Islam, liberalisasi Islam, komunisasi dan sejenisnya merupakan bentuk dari penyalahgunaan tersebut; kesemuanya adalah ‘makhluk-makhluk aneh’; tampil dengan background mempesona yang berorientasikan pada segala sesuatu yang bisa diselesaikan dengan akal pikiran.

Inilah sebenarnya problema yang memecah belah umat; musuh dalam selimut, tampil memikat dengan tawaran-tawarannya yang menggiurkan.

Islam punya aturan hidup. Islam menjadikan berpikir sebagai suatu aktifitas hidup. Hal ini sejalan dengan ungkapan yang sudah familiar dikalangan para filosof, “manusia adalah hewan yang berfikir”. Dengan kesimpulan – yang mungkin masih tergesah-gesah – “ketika ada manusia yang tidak berfikir maka yang tersisa hanyalah hewannya.”

Oleh karena itu, sungguh aneh ketika ada orang yang berjalan dengan semaunya, tanpa mau mengikuti aturan yang ada. Kalau peraturan lalu-lintas di Indonesia para pengendara berjalan di sebelah kiri, namun kalau di Kairo di sebelah kanan. Tapi yang menjadi beban pikiran dan juga harus di-clear-kan adalah orang yang berjalan tanpa aturan; tidak aturan Indonesia dan tidak juga aturan Kairo; malah dia bejalan sesukanya. Begitu juga halnya dengan pikiran manusia. Ketika akal pikiran ‘dijalankan’ tanpa aturan dan petunjuk Al-Qur’an dan Al-Sunnah, lalu dijadikan sebagai satu-satunya tolak ukur terhadap segala sesuatu, maka Islam akan tetap terperosot seperti yang kita saksikan sekarang ini. Pola pikir ‘tanpa aturan’ inilah yang kadang meracuni ‘sebahagian saudara’ kita yang ada di bagian filsafat. Atas nama filsafat dan pemikiran, tanpa sadar mereka menjadi kuli pembantu bagi ‘oknum-oknum luar’ yang berusaha mencari titik-titik lemah umat ini dan kemudian menjungkirbalikkannya dari belakang.

Prof. Sunan Taqdir Ali Sahbana adalah salah satu pakar filsafat Barat yang lumayan tenar; ketika beliau ditanya tentang hakikat filsafat, beliau tidak tahu. Ini menunjukkan filsafat itu tidak mempunyai pola pikir yang jelas dan tidak terarah. Karena cara berpikir di kalangan mereka adalah tanpa panduan yang jelas, yang terpenting adalah berpikir dan berpikir. Akhirnya, hasil pemikiran mereka didominasi kesalahan; satu benar dan sepuluh salah.

Namun demikian, kita tetap harus mengakui jika berfilsafat ataupun berpikir itu mempunyai peranan yang sangat besar dalam kehidupan manusia. Tapi di sisi lain, filsafat juga bisa menjadi meracuni pikiran manusia; lebih konkritnya saat filsafat ataupun akal dijadikan sebagai satu-satunya barometer kebenaran segala sesuatu, sebagaimana prinsip Mu’tazillah: “Yang benar adalah yang dibenarkan akal dan yang salah adalah yang disalahkan akal.”

Berpikir sebagai aktifitas akal dan sebagai ruh dari filsafat, pada dasarnya tidak dikesampingkan oleh Islam. Justru seperti yang disebutkan di atas tadi, berpikir dalam Islam adalah sebagai suatu aktifitas hidup. Dalam Al-Qur’an sendiri, tidak sedikit nash yang menggambarkan urgensi berpikir. “Afalaa ta’qiluun” (Apakah kalian tidak berakal?!), “Afalaa tatafakkaruun“ (Apakah kalian tidak berpikir?!) adalah di antara kutipan nash Al-Qur’an yang memotivasi berpikir. Demikian juga dalam Hadits, misalnya hadits Mu’adz bin Jabal yang menjadikan ijtihad sebagai salah satu sumber hukum setelah Al-Qur’an dan Hadits.

Pola pikir yang diinginkan oleh Al-Qur’an, tentunya pola pikir yang sesuai dengan petunjuk, tujuan dan nilai-nilai ajaran Islam. Bukan pola pikir tanpa aturan, tanpa batas, apalagi tanpa tujuan. Sebab yang kedua ini bisa menjerumuskan manusia pada kekeliruan (lebih-lebih dalam masalah yang berkenaan dengan Aqidah) dan kesenjangan (seperti halnya yang terjadi di Negara-negara komunis dan liberal).

Oleh karena itu, sudah sepatutnya orang muslim merasa bangga dan bersyukur menjadi pemeluk agama mulia yang mempunyai ajaran dan petunjuk yang universal ini. Rasa bangga terhadap agama ini merupakan salah satu motivasi untuk mengembalikan eksistensi ajarannya yang sudah hampir lenyap. Islam akan kembali jaya jika ummatnya berjalan sesuai dengan tuntunannya. Islam akan kembali memimpin peradaban bumi ini, jika ummatnya sesuai dengan koridor yang belaku (petunjuk dan nilai-nilai Al-Qur’an dan Hadits). Kitalah – sebagai pemeluk Islam – yang menentukan kejayaan tersebut.

Sebagai terobosan dari kesenjangan yang terjadi selama ini, sudah sepatutnya kita berusaha untuk lebih memahami segala aturan-aturan yang ada dalam agama ini, bukan membuat aturan sendiri dan memaksakan agama untuk mengikutinya. Allah berfirman dalam al-Quran dalam surah An-Nisai ayat 26:

“Allah hendak menerangkan syariat-Nya kepadamu, dan menunjukkan jalan-jalan kehidupan orang yang sebelum kamu…”

Di dalam tafsir Aisar al-Tafasir disebutkan, bahwa ayat ini memberikan gambaran kepada kita semua akan kejelasan kebaikan dan kebenaran. Juga memberitahukan kepada kita bagaimana orang-orang sebelum kita yang teguh pendirian dalam keimanan mereka.

Oleh karena itu, keselamatan kita tidak akan pernah didapat dengan hanya berharap pada pertolongan Allah semata, begitu juga dengan jayanya agama ini. Akan tetapi selalu terikat pada baik atau tidaknya cara pandang orang yang membawa agama tersebut. Kembali kepada pola pikir Islami adalah solusi dari problema yang melanda umat Islam saat ini. Pikiran dijernihkan dan dijauhkan dari keinginan hawa nafsu yang lebih cenderung mengedepankan kenikmatan yang sementara dan melupakan batasan-batasan sejauh mana manusia boleh menggunakan pikirannya. Kita memang makhluk yang berfikir, akan tetapi bukan segala sesuatu harus dengan akal pikiran. Sebab syariat juga mengakui kelemahan daya pikir manusia yang serba terbatas.

Di dalam satu hadist disebutkan sebagai batasan dari peran manusia dalam berfikir: “Silahkan memikirkan ciptaan Allah, dan jangan sekali-kali memikirkan hakikat Allah.