Halaman

Senin, 06 Desember 2010

قال هذا من فضل ربي

Kadang kita merasa, bahwa kita adalah pemenang. Berbagai macam kelebihan boleh dikatakan ada sama kita. kita unggul dan sering tampil di berbagai jenis dan macam aktifitas. tapi, sadarkah kita atas keunggulan kita tersebut..? kepandaian kita sebenarnya untuk apa...? siapa yg memberikan semua itu...? juga apakah kita orang pertama yg pernah mendapatkannya...? pantaskah kita berbangga...???

saudaraku sekalian...

coba perhatikan,, kaji kembali kelebihan yg Allh berikan terhadap nabi-Nya Sulaiman. kelebihan yg tiada duanya. Adakah nilai kemampuan kita bilan disandingkan dengan kelebihan Sulaiman as...? beliau mampu berkomunikasi dengan binantang, seorang raja yg berhasil menaklukkan dan menguasai alam manusia dan jin. seorang hamba yg Allah tawarkan antara menjadi Raja atau di anugerahkan Ilmu..?

ketika Allah memberikan keutamaan kepadanya, beliau menjawab "ini keutamaan yg Robb-ku, untuk mengetahui bagaimana aku menyikapinya; antara bersikap sombong atau malah mensyukuri."

sebgaimana Allah mengabadikan jawaban Sulaiman as dalam al-Quran surah an-naml ayat 40.

قال هذا من فضل ربي ليبلوني ءأشكر أم أكفر

inilah sikap yg seharusnya kita tunjukkan, berupaya mengenal diri dan menjauhi faktor yg berpotensi membuat kita bangga dan lupa diri.
semoga saya dan anda sekalian selalu dibimbing kejalan yg benar dan jauh dari sikap dan sifat tercela.. Amin ya Robb...

Minggu, 28 November 2010

Hakikat Pemimpin

Kepemimpinan sering sekali dijadikan sebagai objek pembicaraan oleh sebagain kalangan. Karena adanya anggapan bahwa memimpin itu tidaklah sulit dan siapa saja berhak untuk mendapatkannya. Hal ini terbukti dari adanya minat dan kemauan yang meramba untuk menjadi pemimpin di suatu jabatan, umpamanya.
Kalau kita melihat dari sudut pandang kebutuhan individual terhadap jiwa kepemimipinan, ia merupakan hal yang sangat urgen dan esensial bagi kehidupan manusia. Jika setiap jenis hewan yang tidak diberi akal dan tanggungjawab mempunyai pemimpin masing-masing, maka manusia sebagai makhluk sosial yang diberi akal dan amanah untuk memakmurkan bumi sudah barang tentu lebih membutuhkannya. Dengan kepemimpinan, tujuan dan rencana akan lebih terorganisir dan urusan-urusan menjadi lebih ringan. Dalam sejarah sering kali kita temukan betapa banyaknya tujuan dan persoalan yang tidak bisa dipecahkan kecuali dengan adanya kepemimpinan.

Luasnya sisi kehidupan membuat manusia membutuhkan banyak pemimpin di bidangnya masing-masing. Pemimpin-pemimpin tersebut akan membantu dia ke arah tujuan hidup yang hakiki. Namun tidak selamanya manusia di posisi terpimpin. Setiap manusia juga mempunyai amanah kepemimpinan dan tanggungjawab sosial. Oleh sebab itu, semua orang — laki-laki dan perempun — harus mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin dan memahami urgensi jiwa kepemimpinan itu.
Dalam komunitas yang menjunjung nilai-nilai kebersamaan, setiap orang harus lebih selektif dalam menentukan figur yang lebih berhak untuk mengemban kepemimpinanan komunitas tersebut.
Ini tidak jauh berbeda dengan realita yang sekarang kita saksikan dalam konteks pemerintahan; khususnya di Ibu Pertiwi Indonesia. Semua berhak mengajukan permohonan untuk menduduki bangku yang tersedia di pemerintahan.

Kalaulah boleh melihat sejarah, realita yang kita lihat sekarang ini sangat jauh berbeda dengan sikap orang-orang terdahulu terhadap amanah kepemimpinan. Nabi s.a.w pernah bersabda dalam riwayat yang shohih: Jangan engkau minta kekuasaan, karena jika engkau diberi tanpa meminta, engkau akan ditolong dalam menunaikannya dan jika engkau diberi karena minta, engkau akan diserahkan kepadanya.

Di kesempatan lain, Umar bin Al-khottb ra, juga pernah mengatakan pasca wafatnya Nabi. Ketika itu Abu Bakar ra mengusulkan agar Umar yang menggantikan kepemimpinan tersebut. Akan tetapi Umar malah menjawab: "Saya tidak pernah mendengar Abu Bakar mengatakan perkataan keji selain ini."

Secara sepintas maksud dari ungkapan Nabi dan Umar di atas, terkesan mengatakan bahwa orang yang mengajukan diri jadi pemimpin adalah perbuatan yang tercela dan tidak seharusnya dikerjakan. Akan tetapi bila dikaji lebih dalam, maksud dari ungkapan di atas; sebagai acuan serta dorongan bagi setiap orang; agar mempersiapkan diri menjadi pemimpin yang siap pakai; kapan pun dan dimana pun. Dan jangan sekali-kali mengajukan diri tanpa ada kesiapan yang matang, karena yang demikian bisa menimbulkan mudharat kepemimpinannya.

Oleh karena itu, jelaslah bahwa amanah kepemimpinan boleh dikategorikan sebagai hal yang ringan dan mudah diterima, juga sebagai hal yang sulit dan bahkan sukar untuk di jalankan.
Ketika kita melihat dari sisi positifnya, menjadi pemimpin adalah merupakan kesempatan emas untuk menanam kebaikan sekaligus sebagai ladang pahala yang tak terkira (bila kita mengerjakan amanah tersebut sesuai tuntutannya). Akan tetapi, bila ditinjau dari segi negatifnya; dia akan menjadikan seseorang kelihatan sibuk tanpa mendatangkan manfaat; waktu terbuang tak terasa bahkan bisa juga menjerumuskannya ke lembah kehinaan.

Umar pernah mengatakan: “Kepemimpinan (yang tidak dibarengi dengan kemapaman di bidangnya) akan menimbulkan penyesalan di kemudian hari.”
Oleh karena itu, hanya mereka yang mampu dan benar-benar bersedia mengemban amanah kepemimpinan inilah yang bisa terlepas dari hal-hal yang tidak diinginkan tersebut.
Mempunyai akhlak yang mulia, arif dan bijaksana, juga mempunyai visi dan misi yang membangun demi kebersamaan di dalam satu komunitas, boleh dikatakan sebagai standar minimal dari pemimpin ideal. Dan kapan saja ada orang yang mempunyai keperibadian yang lebih unggul, maka dialah yang lebih berhak menjadi pemimpin.

Dengan kata lain, siapa pun boleh menjadi pemimpin, bahkan mengajukan diri sekali pun. Akan tetapi semuanya mempunyai barometer di dalam menentukan yang terbaik. Dan kita juga dituntut untuk lebih selektif dalam memilin pemimpin yang arif dan bijak, sekaligus yang mempunyai jiwa membangun demi kebersamaan. 
Oleh: SUfrin Efendi Lubis

Selasa, 21 September 2010

My Choice

Islam telah mengajarkan kepada kita betapa pentingnya akhlak mulia. Akhlak mulia menjadi cermin diri dan sucinya jiwa, akankah kesempatan menjadi orang baik yang sudah terbuka lebar kita lepas begitu saja..?! Menjadi sosok yang peduli dengan sesama telah kita sia-siakan tanpa lirih melihatnya. Lari dari kebenaran bukanlah solusi konkrit dari masalah, apalagi lilu di keramaian, sikap acuh tak acuh terhadap lingkungan kita dipelihara sampai berkembang layaknya tanaman ubi tumbuh subur mekar dengan dedaunannya.

Bertambahnya usia dunia, secara tidak langsung telah memberikan peluang yang lebih terbuka untuk semua manusia dan semua kalangan dalam memahami tujuan hidup yang ideal dan tujuan yang sesuai dengan yang diharapkan. Para pemuda kerap dijadikan sebagai contoh dari kandas landas dari era globalisasi yang tak kenal perdamaian. Dan inilah bentuk rill dari kehidupan zaman sekarang. Terpesona dengan keindahan dunia yang sementara, tak sadarkan diri; tergiur dengan suasana lingkuangan yang kadang kala menusuk dari belakang.

Kenapa pemuda-pemudi kita di masa kini tak ubahnya seperti pesawat yang terbang dengan sayap sebelah? Terombang-ambing ditelan tiupan aingin yang menusuk ubun-ubun. Tanpa sadar telah menodai jati diri sebagai ciptaan yang paling mulia.

Kenapa pemuda-pemudi kita lebih meprioritaskan idola yang tidak ada jaminan ke legalannya dalam agama, dari pada menjadikan sosok panutan alam dan yang telah mendapat rekomendasi untuk pensyafaatan, sebagai idola sejati...?!

Kalaulah para cendekiawan, para pemikir dan para ilmuan yang telah memahami hakikat Islam – yang telah mengetahui hiruk-piuk dan tipu muslihat musuh agama – masih salah dalam memilih idola, bagaimana dengan orang-orang yang jauh dari sinaran ilmu dan naungan peradaban yang menjadi barometer kehidupan?! Dunia yang tiada berdaya telah gelap gulita, seakan manusia dimanjakan, hidup di dunia bagaikan tujuan akhir dari penciptaan dan kematian bukan menjadi hal yang perlu diperhitungkan.

Akankah kita sebagai orang yang faham agama, orang yang akan menyinari kegelapan ini, tinggal diam tanpa mengambil ancang-ancang sebagai langkah awal pengobatan atas penyakit yang telah merasuki jiwa umat ini..?

Bila kita menelaah kembali proses penciptaan alam ini, niscaya kita akan menemukan pelajaran yang sungguh sangat berarti. Karena sejarah adalah renungan masa lalu, panduan dan enlightment di masa kini. Orang yang mau manggali sejarah berarti telah berani membuka rahasia keberhasilan di masa kini dan masa mendatang. Peluang untuk menjadi orang yang lebih baik masih terbuka lebar. Dan memilih idola yang tepat adalah tuntutan Islam pada setiap idividu, bukan untuk para kiyai , para ustadz atau para aktifis saja. Akan tetapi untuk semua kalangan karena Islam untuk semua.

Islam telah memberikan gambaran kepada kita akan pentinganya mengenal Nabi Muhammad saw, memperdalam pengetahuan tentang kepribadiannya dan jauh lebih tahu tentang seluk beluk kelebihannya. Ketika dilihat dari sudut pandang Islam, beliau adalah idola semua umat, idola yang tidak pernah sirna, idola yang mekar setiap saat. Siapa pun yang menjadikannya sebagai idola, niscaya jaminan kebahagiaan di dunia dan akhirat telah manantinya. Karena mengikuti apa yang telah Rasul anjurkan berarti telah mengikuti apa yang telah Allah perintahkan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT. di dalam Al-Quran surah An-Nisa’ ayat 80:
“Barang siapa menaati Rasul (Muhammad) maka sesungguhnya dia menaati Allah…” (An-Nisa: 80).

Menurut Ibnu Katsir, ayat di atas adalah pernyataan kepantasan Nabi sebagai idola. Karena menjadikan Nabi sebagai tolak ukur ketaatan seseorang kepada Allah Swt. mengindikasikan bahwa apa pun yang muncul dari kepribadiannya adalah pantas dan sesuai untuk dicontoh. Beda halnya dengan idola yang kebanyakan kita ikuti sekarang ini, di samping tidak ada jamiman kebenarannya, bisa-bisa menjadikan kita sebagai orang yang telah menodai agama, yaitu dengan sikap acuh tak acuh kita kepada perintan dan larangan-Nya.

Oleh karena itu, kita dituntut supaya memahami lebih jauh lagi tentang kepribadian Nabi Muhammad SAW, mulai dari sifat-sifatnya, dan kelebihan-kelebihan yang telah Allah anugrahkan kepadanya. Sebagian kecil di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Rasulullah Muhammad Saw Bersifat Belas Kasih
Ketika Rasulullah saw hijrah ke negri Thaif, uluran tangan yang santun dan jiwa yang lapanglah yang beliau inginkan. Tapi, semuannya bertolak belakang dengan apa yang diharapkan, malah lemparan batu mengenai tubuh mulia tersebut, hingga darah bercucuran. Dengan jiwa yang telah dibekali iman, ketenangan pun datang dengan spontan, Rasulullah saw menghadapi semua ini tanpa gentar dan tidak mengeluh. Bahkan tawaran Jibril untuk meratakan perkampuntan ini dengan menghemparkan Bukit Uhud, tapi Rosul menolak dengan ungkapan optimisnya: “Mudah-mudahan Allah membukakan hati orang-orang sesudah mereka terhadap agama ini.” Sikap belas kasih ini telah beliau aplikasikan semasa hidupnya. Bukan di waktu genting dan sempit saja, akan tetapi sifat mulia ini selalu dijadikan sebagai salah satu bukti konkrit dari kenabian dengan tidak melihat situasi atau kondisi tertentu. Begitu juga sifat mulia ini beliau ajarkan kepada para sahabatnya, sebagai orang-orang yang telah setia mendampingi beliau membawa risalah ini hingga sampai kepada kita. Sebagaimana beliau menasehati para sahabat ketika hendak jihad membela agama Allah, agar tidak melukai perempuan, tidak menyakiti anak-anak, orang-orang yang sudah tua bangka dan sampai tumbuhan dan tanaman sekali pun, serta tidak memerangi orang yang tidak memerangi. Begitulah indahnya sifat belas kasih Rasul yang sudah seharusnya kita jadikan sebagai contoh dalam kehidupan sehari-hari.

2. Kedermawan Rasulullah Saw
Kesederhanaan adalah ciri khas dari kepribadian Nabi Muhammad saw. Sekali pun beliau adalah orang yang telah Allah jadikan sebagai makhluk pilihan dan mempunyai keistimewaan, terlebih sifat kesederhanaannya; tidak menghalangi untuk memperluas ladang amal melalui uluran tangan mulianya kepada orang yang membutuhkan.
Sebagaimana diceritakan dalam sebuah Hadist: “Ketika itu Abdullah ibn Abbas ditanya tentang Rasulullah saw. Ibn Abbas mengatakan Rasululllah saw adalah manusia paling dermawan, dan kedermawanan beliau akan semakin meningkat ketika di bulan Ramadhan” (HR. Bukhori).

3. Kelembutan Beliau Saw
Di dalam catatan sejarah mana pun, kita tidak akan menemukan bahwa Nabi Muhammad itu adalah sosok pemarah dan mudah melayangkan tangannya ke pipi anak, istri atau para sahabatnya. Tetapi yang kita temukan adalah kelembutan dan sikap toleransi yang sangat tinggi.
Sebagaimana diceritakan oleh Ibunda Aisyah bahwa tangan Rasul saw tidak pernah memukul istri atau pembantunya. Akan tetapi Rasul saw melakukan itu hanya di medan jihad, ketika memebela agama Allah (H.R. Bukhori).
Ini adalah sedikit dari sifat-sifat mulia Nabi Muhammad SAW, dan masih banyak bukti-bikti dari keistimewaan yang ada pada kepribadian beliau, yang ini dapat kita rujuk ke buku-buku sirah.

Beberapa Tokoh dan Ilmuan Barat Bicara Tentang Nabi Muhammad saw
Di antaranya:
1. Jauth (Sastrawan Jerman)
Jauth mengatakan: “Kami di Eropa, dengan semua teorti dan pemahaman kami yang kami miliki, belum pernah mendapatkan sebagaimana yang telah Muhammad dapatkan. Tidak akan ada seorang pun yang bisa seperti dia (Muhammad) apalagi menandinginya. Saya telah melakukan penelelitian tentang sosok tokoh yang seperti Muhammad tapi tidak saya temukan.”
2. George Sartown
Menurutnya, Nabi Muhammad tidak ada bedanya seperti para nabi terdahulu. Akan tetapi, di sisi lain, Nabi Muhammad mempunyai kelebihan yang tidak didapati dinabi-nabi sebelumnya.
Mari kita perhatikan, bagaimana orang yang di luar sana menilai kepribadian Nabi Muhammad saw. Mereka sebagai pemikir dan ilmuan Barat, tentunya tidak akan semena-mena mengeluarkan pendapat dan kekaguman kepada Nabi Muhammad saw. Kalau bukan karena kemuliaan yang nyata, lalu semua ini apa…?!

Oleh karena itu, mari mengevaluasi diri, perbanyak bekal menuju hari yang lebih berarti. Dan tetap meningkatkan semangat untuk mencapai ridho Ilahi. Karena kesempatan menjadi orang yang lebih baik masih terbuka hingga saat ini.

Sebagaimana disebutkan dalam satu ungkapan: “Orang yang hari sekarang lebih bernilai dari pada hari kemaren; maka orang tersebut diketegorikan sebagai orang yang beruntung. Orang yang hari sekarang tidak ada bedanya dengan hari kemaren, disebut sebagai orang yang merugi. Dan orang yang hari sekarang lebih buruk dari pada hari kemaren disebut sebagai orang yang celaka.
Maka dari situ, kita tidak ada pilihan selain mencari jalan yang lebih tepat dari yang kita lalui sekarang ini. Berani bertindak berarti telah membukan peluang untuk menuju kemenangan dan kehidupan yang lebih bernilai. 
 

Bangga Dengan Islam

Islam adalah agama yang mempunyai nilai lebih dibandingkan dengan agama-agama lain. Ditinjau dari segi manapun, Islam tetap yang terbaik. Hal ini terbukti dan diakui oleh kalangan non-muslim sekalipun; sebagaimana pernah saya kutip di artikel "My Choice" pada edisi September ini, Akan tetapi, bila kita melihat fenomena agama ini di saat ini, kejanggalanlah yang sering kita temukan; agama menjadi bahan tontonan, membuat pikiran dipenuhi dengan pertanyaan.

Bukankah Islam, agama yang harum di beberapa abad yang silam?! Bukankah Islam, agama yang mengangkat harkat dan martabat manusia?! Tapi fakta berbicara, Islam tidak seindah di masa Nabi Muhammad Saw., tidak juga seindah di masa Abu Bakar ra dan pejuang-pejuang Islam lainnya. Kenapa demikian? Kok bisa berbeda?! Bukankah kita juga menjadikan Al-Quran sebagai landasan hidup juga?

Di sini, saya mau mengajak para pembaca untuk bertamasya sebentar ke masa jayanya Islam. Masa yang membuat ummatnya benar-benar bangga terhadap agama ini.

Di masa-masa sebelumnya, Islam adalah penguasa peradaban. Para ilmuan Barat juga pernah belajar dari ulama-ulama muslim yang ketika itu berada di Cordova, Spanyol. Bentuk universitas-universitas tertua di Eropa yang rata-rata hampir sama dengan bentuk mesjid dan pakai kubah misalnya, merupakan bukti konkrit dari semua itu. Selain itu, buku “Al-Qonun fi Al-Fiqh” yang disusun oleh Imam Ghozali, merupakan buku rujukan di Jerman, begitu halnya dengan buku kedokeran yang disusun oleh Ibn Sina. Logaritma sebagai salah satu cabang ilmu dalam matematika; siapa penemunya kalau bukan orang Islam dari kalangan Khawarij?! Masih banyak contoh lain yang membuktikan kalau Islam pernah jaya, menjadi guru dan menguasai peradaban.

Jadi, kita umat Islam bukanlah umat primitive. Peradaban Islam dahulu sudah maju di saat Barat masih tertidur dalam kebodohan. Namun setelah belajar dari ulama-ulama Islam, timbullah semangat mereka yang membuahkan gerakan kebangkitan kembali yang dikenal dengan istilah renaisans.

Pada dasarnya, maju dan mundurnya agama ini, tidak terlepas dari mereka yang mengaku sebagai pemeluknya. Lebih jelasnya, Islam adalah sebuah nama ajaran dan kepercayaan yang diwujudkan kepada suatu aplikasi, berlandaskan wahyu Ilahi yang sifatnya aplikabel. Ketika ajaran agama ini diaktualisasikan oleh ummatnya dengan baik dan menyeluruh, maka akan terwujud kemajuan. Namun jika yang terjadi adalah penyalahgunaaan oleh ummatnya sendiri, kemunduranlah yang akan terjadi. Sekulerisasi Islam, liberalisasi Islam, komunisasi dan sejenisnya merupakan bentuk dari penyalahgunaan tersebut; kesemuanya adalah ‘makhluk-makhluk aneh’; tampil dengan background mempesona yang berorientasikan pada segala sesuatu yang bisa diselesaikan dengan akal pikiran.

Inilah sebenarnya problema yang memecah belah umat; musuh dalam selimut, tampil memikat dengan tawaran-tawarannya yang menggiurkan.

Islam punya aturan hidup. Islam menjadikan berpikir sebagai suatu aktifitas hidup. Hal ini sejalan dengan ungkapan yang sudah familiar dikalangan para filosof, “manusia adalah hewan yang berfikir”. Dengan kesimpulan – yang mungkin masih tergesah-gesah – “ketika ada manusia yang tidak berfikir maka yang tersisa hanyalah hewannya.”

Oleh karena itu, sungguh aneh ketika ada orang yang berjalan dengan semaunya, tanpa mau mengikuti aturan yang ada. Kalau peraturan lalu-lintas di Indonesia para pengendara berjalan di sebelah kiri, namun kalau di Kairo di sebelah kanan. Tapi yang menjadi beban pikiran dan juga harus di-clear-kan adalah orang yang berjalan tanpa aturan; tidak aturan Indonesia dan tidak juga aturan Kairo; malah dia bejalan sesukanya. Begitu juga halnya dengan pikiran manusia. Ketika akal pikiran ‘dijalankan’ tanpa aturan dan petunjuk Al-Qur’an dan Al-Sunnah, lalu dijadikan sebagai satu-satunya tolak ukur terhadap segala sesuatu, maka Islam akan tetap terperosot seperti yang kita saksikan sekarang ini. Pola pikir ‘tanpa aturan’ inilah yang kadang meracuni ‘sebahagian saudara’ kita yang ada di bagian filsafat. Atas nama filsafat dan pemikiran, tanpa sadar mereka menjadi kuli pembantu bagi ‘oknum-oknum luar’ yang berusaha mencari titik-titik lemah umat ini dan kemudian menjungkirbalikkannya dari belakang.

Prof. Sunan Taqdir Ali Sahbana adalah salah satu pakar filsafat Barat yang lumayan tenar; ketika beliau ditanya tentang hakikat filsafat, beliau tidak tahu. Ini menunjukkan filsafat itu tidak mempunyai pola pikir yang jelas dan tidak terarah. Karena cara berpikir di kalangan mereka adalah tanpa panduan yang jelas, yang terpenting adalah berpikir dan berpikir. Akhirnya, hasil pemikiran mereka didominasi kesalahan; satu benar dan sepuluh salah.

Namun demikian, kita tetap harus mengakui jika berfilsafat ataupun berpikir itu mempunyai peranan yang sangat besar dalam kehidupan manusia. Tapi di sisi lain, filsafat juga bisa menjadi meracuni pikiran manusia; lebih konkritnya saat filsafat ataupun akal dijadikan sebagai satu-satunya barometer kebenaran segala sesuatu, sebagaimana prinsip Mu’tazillah: “Yang benar adalah yang dibenarkan akal dan yang salah adalah yang disalahkan akal.”

Berpikir sebagai aktifitas akal dan sebagai ruh dari filsafat, pada dasarnya tidak dikesampingkan oleh Islam. Justru seperti yang disebutkan di atas tadi, berpikir dalam Islam adalah sebagai suatu aktifitas hidup. Dalam Al-Qur’an sendiri, tidak sedikit nash yang menggambarkan urgensi berpikir. “Afalaa ta’qiluun” (Apakah kalian tidak berakal?!), “Afalaa tatafakkaruun“ (Apakah kalian tidak berpikir?!) adalah di antara kutipan nash Al-Qur’an yang memotivasi berpikir. Demikian juga dalam Hadits, misalnya hadits Mu’adz bin Jabal yang menjadikan ijtihad sebagai salah satu sumber hukum setelah Al-Qur’an dan Hadits.

Pola pikir yang diinginkan oleh Al-Qur’an, tentunya pola pikir yang sesuai dengan petunjuk, tujuan dan nilai-nilai ajaran Islam. Bukan pola pikir tanpa aturan, tanpa batas, apalagi tanpa tujuan. Sebab yang kedua ini bisa menjerumuskan manusia pada kekeliruan (lebih-lebih dalam masalah yang berkenaan dengan Aqidah) dan kesenjangan (seperti halnya yang terjadi di Negara-negara komunis dan liberal).

Oleh karena itu, sudah sepatutnya orang muslim merasa bangga dan bersyukur menjadi pemeluk agama mulia yang mempunyai ajaran dan petunjuk yang universal ini. Rasa bangga terhadap agama ini merupakan salah satu motivasi untuk mengembalikan eksistensi ajarannya yang sudah hampir lenyap. Islam akan kembali jaya jika ummatnya berjalan sesuai dengan tuntunannya. Islam akan kembali memimpin peradaban bumi ini, jika ummatnya sesuai dengan koridor yang belaku (petunjuk dan nilai-nilai Al-Qur’an dan Hadits). Kitalah – sebagai pemeluk Islam – yang menentukan kejayaan tersebut.

Sebagai terobosan dari kesenjangan yang terjadi selama ini, sudah sepatutnya kita berusaha untuk lebih memahami segala aturan-aturan yang ada dalam agama ini, bukan membuat aturan sendiri dan memaksakan agama untuk mengikutinya. Allah berfirman dalam al-Quran dalam surah An-Nisai ayat 26:

“Allah hendak menerangkan syariat-Nya kepadamu, dan menunjukkan jalan-jalan kehidupan orang yang sebelum kamu…”

Di dalam tafsir Aisar al-Tafasir disebutkan, bahwa ayat ini memberikan gambaran kepada kita semua akan kejelasan kebaikan dan kebenaran. Juga memberitahukan kepada kita bagaimana orang-orang sebelum kita yang teguh pendirian dalam keimanan mereka.

Oleh karena itu, keselamatan kita tidak akan pernah didapat dengan hanya berharap pada pertolongan Allah semata, begitu juga dengan jayanya agama ini. Akan tetapi selalu terikat pada baik atau tidaknya cara pandang orang yang membawa agama tersebut. Kembali kepada pola pikir Islami adalah solusi dari problema yang melanda umat Islam saat ini. Pikiran dijernihkan dan dijauhkan dari keinginan hawa nafsu yang lebih cenderung mengedepankan kenikmatan yang sementara dan melupakan batasan-batasan sejauh mana manusia boleh menggunakan pikirannya. Kita memang makhluk yang berfikir, akan tetapi bukan segala sesuatu harus dengan akal pikiran. Sebab syariat juga mengakui kelemahan daya pikir manusia yang serba terbatas.

Di dalam satu hadist disebutkan sebagai batasan dari peran manusia dalam berfikir: “Silahkan memikirkan ciptaan Allah, dan jangan sekali-kali memikirkan hakikat Allah.

Minggu, 29 Agustus 2010

Niqab, Islam atau Adat


Isu menabur dimana-mana. Sikap saling menyalahkanpun terus melebar. Ketidak dewasaan menaggapi suatu problem juga menumpangi para cendikiawan. Seolah permasalahan niqab (cadar) kayak masalah baru. Adu argumentasi dan ingin menang sendiri terjadi di sana-sini. Bahkan orang yang buta agamapun ikut berkomentar. Mereka memberikan pendapat, itu adalah liberal. Sementara di kelompok lain, ada yang mengatakan itu demi kemaslahatan. Semua seolah bebas melontarkan pendapat masing-masing, tanpa ada yang menghalangi. Tapi memang itulah kenyataanya. Ketika yang tak kenal agama berbicara tentang agama, dan orang yang tahu agama bersikap acuh tak acuh dan juga tak peduli. Bahkan mereka mengatas namakan ini sebagai hak asasi. Siapapun bebas berpendapat dan mengungkapkan kritikan dan sanggahan. Dan keadaan tersebut telah Nabi peringatkan beberapa abad yang silam, debagai indikasi ketipisan iman. Beliau menegaskan, bahwa Allah memanggil hamba-hamb-Nya yang benar faham agama; sehingga tidak ada yang tersisah melainkan orang yang lebih mementingkan peribadi dari pada hukum Allah. Sebagaimana Rasulullah membahasakannya:

...فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا (الحديث)

"…merekan menfatwakan sesuatu tidak berdasarkan ilmu, kama mereka sesat juga menyesatkan"

Keluarnya fatwah Syech Azhar; Sayyid Tantawi tentang pelarangan memakai niqab (cadar) seolah telah mengguncang dunia. Berbagai kalangan memberikan pendapat tentang fatwa tersebut. Tidak di Negara Arab aja, tapi juga di Negara Asia sana seperti Indonesia; negara kita.

Layaknya sebagai pelajar. Sudah seharusnya kita lebih teliti menilai sesuatu. Tanpa melihat sumber opini tersebut. Akan tetapi, yang hak tetap yang hak, sekalipun keluar dari yang bukan Islam. Dan yang batil tetap batil, meskipun itu perkataan kiyai. Karena standar baik benar tersebut adalah Isalam bukan kedudukan juga bukan jabatan.

Kita telah diombang-ambing oleh media massa. Telah di-nina bobokkan media yang mengutamakan kepentingan sendiri. Bahkan sebagian kalangan menjadikannya sebagai momen untuk menyalakan api perpecahand di antara kaum muslimin. Yang lebih memprihatinkan banyak di antara kita tidak menyadari hal tersebut dan masih lebih memilih mereka orientalis dan liberalis (yang ingin merongrong agama dari luar dan dalam).

Informasi yang dipublikasikan media massa tidak semuanya benar dan pasti. Apalagi kebanya didomonasi orang-orang yang tidak ridha dengan agama ini. Jangan sampai kita yang tahu agama, juga linglung dikeramaian, yang seharusnya tidak patut; apalagi sebagai mahasiswa yang menuntut ilmu di universitas tertua dunia ini.

Syech Azhar bukanlah orang bodoh; yang kalau mengeluarkan suatu pendapat, tidak mempertimbangkan dampak negative dan positifnya. Beliau juga bukan orang yang tak pernah salah. Sehingga apa yang beliau katakana itulah segalanya dan menentangnya adalah suatu kekeliruan. Akan tetapi, semuanya berawal dari penyikapan kita. Bagaiman kita menerima informasi tersebut. Apakah beliau benar menfatwakan seperti itu, atau ada ini ulah oknum yang mengatasnamakan agama dan memanfaatkan untuk kepentigan sendiri..? yang salah siapa..? dan kalau memang benar demikian bagaiman seharusnya kita menyikapinya..?

Sesungguhnya beruntunglah orang yang menjadikan al-Quran sebagai pegangan. Kesalah pahaman juga pernah terjadi di masa Nabi dan Al-Quran telah meluruskannya dan memberikan peringatan agar kita lebih teliti dalam meneriam suatu informasi. Bukan karena dia datang dari syech azhar, itulah segalanya. Atau karena kedudukan seseorang kita langsung menerimanya.

Oleh karena itu, media massa adalah sarana untuk berbagi dan sekaligus salah satu cara untuk bisa menguasai perkembangan dunia. Namu, tidak selamanya media massa memuat informasi yang akurat.

Kembali ke masalah niqab, yang menurut sebagian orang. Syech Sayyid Tantawi telah mengungkapkan pendapat yang menyalahi pendapat ulama terdahulu. Masih banyak ulama besar terdahulu yang berbicara masalah niqab ini; bahkan semua ulama madzhab menekakan untuk memakainya. Syafi'iyyah dan hanabilah berpendapat akan wajibnya memakai cadar, sedangkan hanafiyah dan malikiyah melihatnya bukan wajib tetapi sekedat sunnah muakkadah dengan catatan terhindar dari fitnah; kalau tidak aman dari fitnah mereka juga mewajibkannya. Begitulah pendapat para ulama-ulama madzhab tentang pemakaian niqab.

Di samping itu ada yang lebih ganjil. Fakta berbicara, pendapat tinggallah pendapat dan aplikasinya malah terbalik. Indonesia; Negara kita kebanyakan bermadzhab syafi'iyyah (mewajibkan niqab). Namaun kenyataannya, jangankan memakai niqab bajunya aja serba puntung. Dan Fakistan sebagai Negara yang bermadzhab Hanafi (tidak mewajibkan) tapi cadar malah mereka aplikasikan. Begitulah pemahaman yang beredar di masyarakat kita. Dan yang di sayangkan sikap sebagian orang yang terlalu cepat menyalahkan tanpa ada upaya untuk memastikan.

Adapun larangan memakai niqab; yang secara langsung difatwakan syech al-azhar bukanlah secara mutlak. Dan siapa yang memakai akan dipulangkan. Justru peraturan tersebut hanya untuk siswa/i atau mahasiswa/i azhar. Juga pelarangannya tidak disemua tempat. Adapun tempat yang dimaksud adalah, di dalam ruangan (ketika muhadharah) dengan syarat pemateri adalah dukturah dan tidak ada laki-laki satupun. Begitu juga waktu imtihan. Kedua, ketika di kamar atau di asrama. Selain da tempat yang sisebutkan, syech al-azhar tidak melarang bahkan malah memberikan keleluasaan untuk memilih.

Hal ini sebatas antisifasi dari pihak azhar. Dan semi keamanan proses belajar sekaligus menutup kemungkinan adanya penyusup masuk ke ruangan belajar atau ke asramah putri.

Dari sini, kita dapat menjawab pertanyaan di atas. Yang salah adalah kita, karena tidak berupaya mencari informasi yang akurat. Dan hanya mengandalkan omongan dan ocehan orang yang tidak suka dengan agama. Dan untuk kedepan, moga kamu muslimin khususnya lebih cermat menyikapi suatu masalah.

Al-quran telah memperingatkan kita agat lebih teliti menerima sesuatu dan tidak, sebagaimana firman Allah saw dalam surah al-hujurat:

ياأيها الذين أمنوا إن جاءكم فاسق بنبإ فتبينوا...

Demikianlah al-Quran mengajari kita. Dan niqab adalah anjuran agama bukan bawaan atau tradisi orang arab belaka sebagaimana dilontarkan sebgian kalangan.

Wallahu'alam bi ash-shawab

Kairo, 26- 10- 09

Hari Ini Adalah Masa Depanku

Kehidupun berputar cepat. Usia yang makin hari makin bertambah. Lima tahun yang kemaren seakan lima bulan yang lalu dan sekarang umur kita sudah belasan atau bahkan sudah puluhan tahun. Ada yang berkepala dua, juga ada yang telah berkepala tiga. Tanpa terasa keadaanpun telah menuntut kita untuk bersikap lebih dewasa,. Kondisi seperti ini rata-rata dirasakan oleh semua orang tanpa terkecuali. Semua individu mempunyai kesibukan tersendiri tanpa melihat bentuk dan rupa kesibukan tersebut. Ada kalanya kesibukan itu tak lebih dari hiburan belaka yang dipenuhi dengan corak macam gurauan dan waktu terbuang sia-sia, dan ada juga yang tekun dan serius untuk menggeluti suatu pekerjaan, untuk memcapai suatu tujuan yang ia inginkan.

Kalaulah boleh melihat rupa dan wajah dunia nyata. Realitas masyarakat, sekolahan, perkantoran. Ketika ditelusiri lebiah dalam, ternyata apa yang kita banggakan dan kita harapkan selama ini tak sesuai dengan prospek yang jauh-jauh hari telah kita susun rapi. Karena regenerasi yang kebanyakan lupa dengan tujuan ketika berada dalam satu komunitas. Dan ini terindikasi dari kualitas mahasiswa mahasiswi alumni perkuliahan manapun; yang notabene perkuliahan merupakan lingkungan orang-orang yang mempunyai masa depan yang cerah. Kalaulah mahasiswa-mahasiswinya seperti sekarang ini bagaimana dengan yang tidak kenal sekolah, tidak kenal baca tulis, tidak mau shalat atau bahkan yang tidak pandai shalat..???

Akan tetapi, berapa banyak di antara mahasiswa-mahasiswi, ketika selesai kuliah mereka malah pusing tujuh keliling. Gelar sarjana yang seharusnya menjanjikan ketenangan dan kebahagiaan, justru malah menjadi embel-embel yang mempersempit perjalanan, kaki serasa dikekang dan lingkungan seakan melototi gerak geriknya. Maju ke dunia nyata terasa sangat malu karena kemampuan yang tidak memadai, dan memuali dari awal adalah hal yang mustahil apalagi sampai menghitung-hitung berapa puluh juta yang telah kita habiskan selama menempuh pendidikan. Ini adalah problem saya, problem anda dan problem kita semua.

Ibarat sebuah restoran. Disamping dia dituntut untuk memasak dengan enak dan pelayanan yang bagus, dia juga harus berpenampilan rapi dan bersih. Sehingga pelanggan tidak enggan datang dan mengunjungi restorannya. Dan kerapian tempat, kebersiahan, dan pelayanan yang bagus mengandung nilai yang memikat para pengunjung dan sekaligus menjadi penentu dalam usahanya tersebut. Namun, ketika sebuah restoran tidak memperhatikan hal-hal yang telah disebutkan di atas, atau hanya mengandalkan enaknya masakan tanpa memperhatikan dari segi kebersihan dan keramahan terhadap pengunjung, jelas akan berdampak terhadap masa depan restoran tersebut. Atau orang-orang akan datang ke restoran tersebut, tapi hanya sekali dan itupun diiringi penyesalan dan mungkin berjanji pada dirinya tidak akan datang ke restoran itu lagi.

Begitulah realitas dari sebuah keadaan. Apabila salah bertindak juga akan menghasilkan nilai yang tak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Dan logisnya, ketika kita mengerjakan sesuatu, secara spontanitas kita juga telah mempersiapkan segala sesuatu untuk tercapainya hasil tujuan yang diinginkan. Terkeculai kalau kita tidak mempunyai tujuan yang lebih jauh dari dunia. Atau telah mencukupkan kesenangan dunia yang menurut kita adalah segalanya. Orang yang seperti ini tidak jauh beda dengan keberadaan restoran yang disebutkan di atas tadi.

Hari ini adalah masa depan kita, esok belum tentu milik kita. Kalimat ringan tapi mengandung makna yang sangat dalam. Dan orang yang memahami kalimat tersebut sendirinya akan terdorong untuk mempersiapkan diri dan memngumpulkan bekal untuk hari esoknya. Kejayaan kita di masa mendatang tengantung dengan kerja keras kita di masa sekarang. Ingin menjadi orang yang sehat dan jauh dari penyakit di kala tua, tergantung bagaimana kita menjaga kesehatan dan keseimbanga tubuh kita di masa muda. Ingin menjadi orang yang sukses di hari-hari mendatang tergantung dengan usaha dan upaya apa saja yang telah kita lakulan jauh sebelumnya.

انظر يومك ولا تهتم بالغد...لأن إذا أصلحت يومك صلح غدك

Optimallah dalam keseharian anda, dan jangan menyibukkan diri dengan hari esok. Karena ketika hari ini kita optimal niscaya besok juga akan lebih bagus.

Ungkapan di atas bukan berarti kita tidak boleh memikirkan masa depan, akan tetapi merupakan cara agar kita mendapat masa depan yang cerah. Ibarat di atas mengingatkan kita akan perbuatan kebanyakan orang yang menyibukkan diri dengan masa depan dan lupa dengan hari sekarang. Al-Quran juga menganjurkan agar jangan sampai bagian kita selama di dunia dilalaikan, dan fokus ke kehidupan akhirat karena dunia merupakan jembatan menuju kehidupan kahirat; kehidupan yang kekal dan abadi.

Kita tidak menafinkan taqdir dan ketentuan Allah SAW., yang telah menentukan segala sesuatunya. Akan tetapi, kita sebagai manusia; yang diperintahkan untuk berusaha dan berikhtiar semaksimal mungkin untuk mencapai yang terbaik. Bukan menerima apa yang Allah SWT., tentukan tanpa ada upaya untuk menghasilkan yang kita inginkan. Ibaratnya orang yang ingin pintar tapi tak mau belajar adalah gila, seperti orang yang ingin kaya tapi tak mau berusaha.

Maksimalitaslah yang dituntut dari kita sebagai manusia. Bukan sekedar menerima apa adanya, tanpa ada upaya untuk mengubah yang jelek menjadi yang baik; yang kerdil menjadi yang besar dan terpandang.

Al-Qur’an jauh sebelumnya telah mengajari kita untuk mempersiapkan diri menghadapi masa depan dan memformat segala sesuatunya sebagai bekal dikemudian hari. Tidak bekal selama di dunia saja akan tetapi juga bekal di akhirat nanti. Firman Allah SAW., mengatakan dalam al-Qur’an.

"Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dipersiapkannya untuk hari esok…" (QS.al-hasyr ayat: 18)

Para ulama mengatakan, bahwa persiapan yang dimaksud adalah persipan kita di akhirat kelak ketika semunya telah berubah. Orang yang baik semasa hidupnya di dunia, akan melihat hasil dari pengorbanannya tersebut. Begitu juga dengan orang yang selama di dunia hanya melakukan hal yang tidak sesuai dengan anjuran Allah dan lupa dengan hari akhirat, juga akan melihat balasan yang setimpal dengan perbuatannya. Penyesalan akan muncul di sana-sini; tidak orang yang selama hidupnya maksiat saja tapi orang saleh sekalipun akan merasa merugi dan ingin kembali ke dunia. Sebagaimana dikatakan dalam satu riwayat bahwa mereka yang saleh juga merasa menyesal akan ketidak seriusannya beribadah kepada Allah SWT. Kerena mereka telah melihat betapa indahnya balasan yang Allah sediakan bagi orang-orang yang benar-benar mengharapkan balasan-Nya. Beda halnya dengan penyesalan orang yang selama hidupnya penuh dengan kemungkaran dan kedzaliman. Mereka menyesal karena telah melihat kedahsyatan azab dan siksaan Allah dan merasa tidak mampu berlama-lama dalam kondisi seperti ini. Oleh karena itu mereka ingin lepas dan kembali ke alam dunia dan mulai menata hidup dengan sebaik-baiknya. Begitulah realita yang al-Qur’an ceritakan tentang keberadaan manusia dikemudian hari.

Masalah sudah jelas dan semua manusia sejatinya menginginkan kehidupan yang lebih baik. Tidak di dunia saja akan tetapi juga di akhirat. Oleh karena itu, sudah semestinya kita mempersiapkan diri menghadapi hari perhitungan; yang al-Quran ibaratkan dengan hari esok. Hari yang semua seolah terputus, semua hanya mementingkan keberadaan diri sendiri. Begitulah gambaran yang Allah baritahukan kepada kita melalui lisan Nabi-Nya. Semuanya telah jelas dan tinggal kitanya; mau senang dunia akhirat atau malah lebih cenderung memilih kesengsaraan.

Orang yang mengharapkan balasan di dunia, niscaya tidak akan mendapatkan balasan di kemudian hari. Dan orang yang mengharapkan balasan akhirat, sesungguhnya kesenangan dunia itu sendirinya akan datang menghampiri kita. Begitulah Allah menyindir orang-orang yang lebih mementingkan kehidupan dunia dibandingkan dengan kehidupan akhirat.

Wallahu a’lam bi ash-shawaaf