Halaman

Minggu, 28 November 2010

Hakikat Pemimpin

Kepemimpinan sering sekali dijadikan sebagai objek pembicaraan oleh sebagain kalangan. Karena adanya anggapan bahwa memimpin itu tidaklah sulit dan siapa saja berhak untuk mendapatkannya. Hal ini terbukti dari adanya minat dan kemauan yang meramba untuk menjadi pemimpin di suatu jabatan, umpamanya.
Kalau kita melihat dari sudut pandang kebutuhan individual terhadap jiwa kepemimipinan, ia merupakan hal yang sangat urgen dan esensial bagi kehidupan manusia. Jika setiap jenis hewan yang tidak diberi akal dan tanggungjawab mempunyai pemimpin masing-masing, maka manusia sebagai makhluk sosial yang diberi akal dan amanah untuk memakmurkan bumi sudah barang tentu lebih membutuhkannya. Dengan kepemimpinan, tujuan dan rencana akan lebih terorganisir dan urusan-urusan menjadi lebih ringan. Dalam sejarah sering kali kita temukan betapa banyaknya tujuan dan persoalan yang tidak bisa dipecahkan kecuali dengan adanya kepemimpinan.

Luasnya sisi kehidupan membuat manusia membutuhkan banyak pemimpin di bidangnya masing-masing. Pemimpin-pemimpin tersebut akan membantu dia ke arah tujuan hidup yang hakiki. Namun tidak selamanya manusia di posisi terpimpin. Setiap manusia juga mempunyai amanah kepemimpinan dan tanggungjawab sosial. Oleh sebab itu, semua orang — laki-laki dan perempun — harus mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin dan memahami urgensi jiwa kepemimpinan itu.
Dalam komunitas yang menjunjung nilai-nilai kebersamaan, setiap orang harus lebih selektif dalam menentukan figur yang lebih berhak untuk mengemban kepemimpinanan komunitas tersebut.
Ini tidak jauh berbeda dengan realita yang sekarang kita saksikan dalam konteks pemerintahan; khususnya di Ibu Pertiwi Indonesia. Semua berhak mengajukan permohonan untuk menduduki bangku yang tersedia di pemerintahan.

Kalaulah boleh melihat sejarah, realita yang kita lihat sekarang ini sangat jauh berbeda dengan sikap orang-orang terdahulu terhadap amanah kepemimpinan. Nabi s.a.w pernah bersabda dalam riwayat yang shohih: Jangan engkau minta kekuasaan, karena jika engkau diberi tanpa meminta, engkau akan ditolong dalam menunaikannya dan jika engkau diberi karena minta, engkau akan diserahkan kepadanya.

Di kesempatan lain, Umar bin Al-khottb ra, juga pernah mengatakan pasca wafatnya Nabi. Ketika itu Abu Bakar ra mengusulkan agar Umar yang menggantikan kepemimpinan tersebut. Akan tetapi Umar malah menjawab: "Saya tidak pernah mendengar Abu Bakar mengatakan perkataan keji selain ini."

Secara sepintas maksud dari ungkapan Nabi dan Umar di atas, terkesan mengatakan bahwa orang yang mengajukan diri jadi pemimpin adalah perbuatan yang tercela dan tidak seharusnya dikerjakan. Akan tetapi bila dikaji lebih dalam, maksud dari ungkapan di atas; sebagai acuan serta dorongan bagi setiap orang; agar mempersiapkan diri menjadi pemimpin yang siap pakai; kapan pun dan dimana pun. Dan jangan sekali-kali mengajukan diri tanpa ada kesiapan yang matang, karena yang demikian bisa menimbulkan mudharat kepemimpinannya.

Oleh karena itu, jelaslah bahwa amanah kepemimpinan boleh dikategorikan sebagai hal yang ringan dan mudah diterima, juga sebagai hal yang sulit dan bahkan sukar untuk di jalankan.
Ketika kita melihat dari sisi positifnya, menjadi pemimpin adalah merupakan kesempatan emas untuk menanam kebaikan sekaligus sebagai ladang pahala yang tak terkira (bila kita mengerjakan amanah tersebut sesuai tuntutannya). Akan tetapi, bila ditinjau dari segi negatifnya; dia akan menjadikan seseorang kelihatan sibuk tanpa mendatangkan manfaat; waktu terbuang tak terasa bahkan bisa juga menjerumuskannya ke lembah kehinaan.

Umar pernah mengatakan: “Kepemimpinan (yang tidak dibarengi dengan kemapaman di bidangnya) akan menimbulkan penyesalan di kemudian hari.”
Oleh karena itu, hanya mereka yang mampu dan benar-benar bersedia mengemban amanah kepemimpinan inilah yang bisa terlepas dari hal-hal yang tidak diinginkan tersebut.
Mempunyai akhlak yang mulia, arif dan bijaksana, juga mempunyai visi dan misi yang membangun demi kebersamaan di dalam satu komunitas, boleh dikatakan sebagai standar minimal dari pemimpin ideal. Dan kapan saja ada orang yang mempunyai keperibadian yang lebih unggul, maka dialah yang lebih berhak menjadi pemimpin.

Dengan kata lain, siapa pun boleh menjadi pemimpin, bahkan mengajukan diri sekali pun. Akan tetapi semuanya mempunyai barometer di dalam menentukan yang terbaik. Dan kita juga dituntut untuk lebih selektif dalam memilin pemimpin yang arif dan bijak, sekaligus yang mempunyai jiwa membangun demi kebersamaan. 
Oleh: SUfrin Efendi Lubis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar